ETIMOLOGI &
EPISTEMOLOGI
Etimologi adalah cabang ilmu linguistik yang mempelajari asal usul suatu
kata.
Misalkan kata etimologi sebenarnya
diambil dari bahasa Belanda
etymologie yang berakar dari bahasa Yunani; étymos (arti sebenarnya
adalah sebuah kata) dan lògos (ilmu). Pendeknya,
kata etimologi itu sendiri datang dari bahasa Yunani ήτυμος (étymos,
arti kata) dan λόγος (lógos, ilmu). Beberapa
kata yang telah diambil dari bahasa lain, kemungkinan dalam bentuk yang telah
diubah (kata asal disebut sebagai etimon). Melalui naskah tua dan perbandingan
dengan bahasa lain, etimologis mencoba untuk merekonstruksi asal usul dari
suatu kata - ketika mereka memasuki suatu bahasa, dari sumber apa, dan
bagaimana bentuk dan arti dari kata tersebut berubah.
Etimologi
juga mencoba untuk merekonstruksi informasi mengenai bahasa-bahasa yang sudah
lama untuk memungkinkan mendapatkan informasi langsung mengenai bahasa tersebut
(seperti tulisan) untuk diketahui. Dengan membandingkan kata-kata dalam bahasa
yang saling bertautan, seseorang dapat mempelajari mengenai bahasa kuno yang
merupakan “generasi yang lebih lama”. Dengan cara ini, akar bahasa yang telah diketahui
yang dapat ditelusuri jauh ke belakang kepada asal usul keluarga bahasa
Austronesia.
Epistemologi
berasal dari bahasa Yunani, yaitu episteme, yang berarti pengetahuan
(knowledge) dan logos yang berarti ilmu. Jadi menurut arti katanya,
epistemologi ialah ilmu yang membahas masalah-masalah pengetahuan. Di dalam
Webster New International Dictionary, epistemologi diberi definisi sebagai
berikut: Epistimology is the theory or science the method and grounds of
knowledge, especially with reference to its limits and validity, yang artinya
Epistemologi adalah teori atau ilmu pengetahuan tentang metode dan dasar-dasar
pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan batas-batas pengetahuan dan
validitas atau sah berlakunya pengetahuan itu. (Darwis. A. Soelaiman, 2007,
hal. 61).
Istilah
Epistemologi banyak dipakai di negeri-negeri Anglo Saxon (Amerika) dan jarang
dipakai di negeri-negeri continental (Eropa). Ahli-ahli filsafat Jerman
menyebutnya Wessenchaftslehre. Sekalipun lingkungan ilmu yang membicarakan
masalah-masalah pengetahuan itu meliputi teori pengetahuan, teori kebenaran dan
logika, tetapi pada umumnya epistemologi itu hanya membicarakan tentang teori
pengetahuan dan kebenaran saja.
Epistemologi
atau Filsafat pengetahuan merupakan salah satu cabang filsafat yang
mempersoalkan masalah hakikat pengetahuan. Apabila kita berbicara mengenai
filsafat pengetahuan, yang dimaksud dalam hal ini adalah ilmu pengetahuan
kefilsafatan yang secara khusus hendak memperoleh pengetahuan tentang hakikat
pengetahuan.
Beberapa
pakar lainnya juga mendefinisikan espitemologi, seperti J.A Niels Mulder
menuturkan, epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari tentang watak,
batas-batas dan berlakunya dari ilmu pengetahuan. Jacques Veuger mengemukakan,
epistemologi adalah pengetahuan tentang pengetahuan dan pengetahuan yang kita
miliki tentang pengetahuan kita sendiri bukannya pengetahuan orang lain tentang
pengetahuan kita, atau pengetahuan yang kita miliki tentang pengetahuan orang
lain. Pendek kata Epistemologi adalah pengetahuan kita yang mengetahui
pengetahuan kita. Abbas Hammami Mintarejo memberikan pendapat bahwa
epistemology adalah bagian filsafat atau cabang filsafat yang membicarakan
tentang terjadinya pengetahuan dan mengadakan penilaian atau pembenaran dari
pengetahuan yang telah terjadi itu. (Surajiyo, 2008, hal. 25).
Dari
beberapa definisi yang tampak di atas bahwa semuanya hampir memiliki pemahaman
yang sama. Epistemologi adalah bagian dari filsafat yang membicarakan tentang
terjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan, batas-batas,
sifat, metode, dan keshahihan pengetahuan. Jadi objek material dari
epistemology adalah pengetahuan dan objek formalnya adalah hakikat pengetahuan
itu.
Epistemologi
atau Teori Pengetahuan yang berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan,
pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas
pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan
tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai
metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme,
metode kontemplatis dan metode dialektis. (dari berbagi sumber)
____________________________________
MANFAAT dan KANDUNGAN GIZI BERAS HITAM
Konon, bahwa beras hitam adalah jenis makanan yang dikonsumsi
kalangan terbatas yakni lingkungan istana. Konon pula, tradisi ini berlangsung
sejak jaman cina kuno. Begitu pula kerajaan di jawa. Sejumlah diskusi yang
mendasarkan penelitan bahwa beras hitam memiliki kadar vitamin, mikroelemen,
dan asam amino yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis beras lainnya. Tapi
coba simak tabel berikut:
Tabel Komposisi Gizi Berbagai jenis Beras yang ada di Indonesia
No | Nama bahan |
Energi (kkal)
|
Protein (gram)
|
Karbohidrat (gr)
|
Lemak (gram)
|
Serat (gr)
|
1
|
Beras hitam |
351
|
8
|
1,3
|
76,9
|
20,1
|
2
|
Beras putih |
357
|
8,4
|
1,7
|
77,1
|
0,2
|
3
|
Beras merah |
352
|
7,3
|
0,9
|
76,2
|
0,8
|
4
|
Beras ketan putih |
361
|
7,4
|
0,8
|
78,4
|
0,4
|
5
|
Beras ketan hitam |
360
|
8
|
2,3
|
74,5
|
1
|
Yang perlu dipahami
sebenarnya bukan seberapa kandungan gizi yang terkandung di dalamnya, tetapi
bagaimana beras hitam itu memiliki dampak terhadap kesehatan. Khususnya bagi
usia yang telah beranjak tua. Misal, kandungan lemak yang sedikit akan
menjauhkan dari kolesterol, kandungan karbohidrat yang rendah akan
menghindarkan dari penyakit gula, dan kandungan serat yang tinggi akan
berdampak baik bagi kesehatan tubuh.
Bahwa pigmen beras
hitam mengandung Aleuron dan endospermia yang dapat menghasilkan antosianin
yang bermanfaat sebagai zat antikarsinogenik, meningkatkan kadar trombosit dan
memiliki antioksidan yang tinggi. Zhimin Xu, Associate Professor di Departemen
Ilmu Pangan Louisiana State
University Agricultural Center di Baton Rouge, La., mengatakan satu
sendok dedak beras hitam mengandung lebih banyak zat antioksi dan anthocyanin dibandingkan dengan
satu sendok blueberry tetapi dengan sedikit gula dan lebih banyak serat serta
zat antioksidan lain (vitamin E). Sehingga aman untuk penderita diabetes. Pigmen
ini juga kaya akan flavonoid yang dapat mencegah pengerasan pembuluh nadi.
kadar zat Flavonoid yang terkandung didalam beras hitam lima kali lebih tinggi dibandingkan zat
flavonoid yang terdapat dalam beras putih biasa. (powered by Didik rohadi winarta).
TERMINOLOGI
PEMBERDAYAAN USAHA MIKRO KECIL
Dapat
dipastikan, setiap program pengembangan usaha mikro kecil yang digulirkan di
masyarakat baik oleh pemerintah atau NGO mensyaratkan indicator terjadinya
sejumlah peningkatan. Di antaranya; meningkatnya jumlah produksi, meningkatnya
omset penjualan, dan sejumlah peningkatan lainnya. Hal ini akan dapat mengukur
seberapa terjadi peningkatan pendapatan yang selanjutnya dapat menjadi
indikator tercapainya tujuan program yakni: meningkatkan kesejahteraan
masyarakat.
Hal yang sering kali terdapat kesalah-kaprahan pemahaman
tentang diskripsi usaha mikro kecil yang dianggap kuat. Banyak pendapat bahwa
keberhasilan pendampingan program usaha mikro kecil adalah: ketika sebuah
program mampu mengubah usaha mikro kecil meningkat ke level yang lebih tinggi. Menjadi
usaha menengah atau syukur-syukur menjadi usaha besar. Tetapi mungkinkah itu
terjadi dalam kurun waktu program? Atau sesudahnya? Mungkin tak pernah ada.
Sesungguhnya, menjadi seorang pengusaha besar atau mikro
atau kecil adalah pilihan dan kesempatan yang ada. Skema program yang baik
adalah ketika program memberi jawaban kepada masyarakat sasaran program, atas
jalan usaha yang belum mereka temukan mengembangkan usahanya. Tetapi sebaiknya bagi para pendamping program
harus mengingat tentang teriminologi berpikir seperti ini:
“usaha yang
kuat bukan berarti usaha yang besar, begitu sebaliknya bahwa usaha mikro kecil
bukan berarti usaha yang lemah”. Jika menjadi seorang pengusaha aku akan
memilih menjadi pengusaha kecil tetapi kuat, dari pada memiliki perusahaan yang
besar tetapi rapuh.
Banyak kasus
usaha besar memiliki jumlah hutang yang banyak, memiliki tingkat ketergantungan
tinggi dengan pihak lain, mengekploitasi keringat pekerja demi keuntungan
sehingga mengabaikan nilai kemanusaiaan. Tetapi kita juga akan dapat menemukan
sebuah usaha kecil yang memiliki daya tawar kuat dalam pemasaran, memiliki
sedikit pekerja tetapi menjamin kenyaman hidup mereka, omset produksi kecil
tetapi memiliki keberlanjutan, lambat
dalam perkembangan tetapi berjalan tanpa dihantui cicilan hutang.
Dari
terminology di atas, mungkin program pemberdayaan usaha mikro kecil juga perlu
mencatumkan indicator keberhasilan tentang menurunnya jumlah hutang dan tingkat
ketergantungan dengan pihak lain dalam menjalankan roda usahanya. Namun
sayangnya, banyak program yang malahan menciptakan para usaha mikro kecil
memperbesar jumlah hutang mereka dengan dalih mengembangkan usahanya. Ha..ha… politik
kredit namanya…dan itu tampaknya gagal. Hutang hanya untuk kebutuhan konsumtif
dan bukan untuk investasi. Tapi itu yang sekarang lebih dianggap relevan, pas
dan paling mudah ketika mendesain program penguatan usaha mikro kecil di
masyarakat. Sayang…!
Mungkin
sebaiknya ketika sebuah program memiliki kegiatan yang berkait dengan akses
hutang juga perlu dibarengi dengan pendidikan keuangan. Karena di dalam
pendidikan keuangan akan terdapat cara “bagaimana mengelola hutang secara
bijak”. (powered by Didik Rohadi Winarta)
Catatan Dari Pelatihan Pendidikan Keuangan
Apa yang hendak saya
paparkan dalam tulisan ini berangkat dari pengalaman pelatihan Financial
Education for The Poor, angkatan ke-27 di Dusun Melikan 1, Sumberejo, Sleman.
Ada banyak catatan menarik di sana, yang bisa membuat ruang imajinasi sekaligus
mencoba berpikir kritis.
Pada
hari pertama pelatihan, sepertinya tak ada hal-hal yang perlu saya buat catatan
untuk itu. Karena suasana pelatihan kali ini pun seperti pula
pelatihan-pelatihan FEP yang terdahulu: pelatihan di dilakukan di rumah
penduduk, beralas tikar dan duduk melingkar, peserta kebanyakan kaum perempuan,
snank dan minum ala kadarnya dll, yang tentunya jauh dari kemewahan seperti
ketika seminar-seminar atau workshop yang digelar di hotel berbintang.
Namun teman saya, sebut saja kang BS, yang juga menjadi tim pelatih pada kesempatan itu, seakan melempar api dalam tumpukan kayu yang tengah mengandung volitile. “Nana”, begitu bisiknya. Dan sejurus, ia pun mencoba mengarahkan pandangan saya pada salah satu peserta pelatihan: perempuan yang duduk di dekat pintu tengah, yang selanjutnya aku ketahui namanya adalah Endang Supari.
Namun teman saya, sebut saja kang BS, yang juga menjadi tim pelatih pada kesempatan itu, seakan melempar api dalam tumpukan kayu yang tengah mengandung volitile. “Nana”, begitu bisiknya. Dan sejurus, ia pun mencoba mengarahkan pandangan saya pada salah satu peserta pelatihan: perempuan yang duduk di dekat pintu tengah, yang selanjutnya aku ketahui namanya adalah Endang Supari.
Jelas
bagiku, kang BS saat itu tengah mengingatkan saya pada seorang perempuan yang
pernah kuceritakan kepadanya. Nana adalah nama seorang perempuan yang pernah
menjadi kekasihku 13 tahun silam, yang tentunya tak berujung pada jenjang
pernikahan. Dan karena itu pulalah, aku mendadak untuk memperhatikan perempuan
yang duduk berhadapan dengan barisan kami.
Memang
benar, Endang Supari yang pada saat itu datang dengan anaknya yang masih
berumur 4 bulan, mirip dengan Nana. Tapi aku yakin, jika kang BS sempat juga
kenal Wulan, kekasihku di masa SMA, ia bakal juga menyebut nama Wulan. Dan
sungguh, sebenarnya Endang Supari lebih banyak kemiripanya dengan Wulan. Namun,
pengamatanku tentu tidak sebatas itu, dan tentu pula tidak hanya pada perempuan
bernama Endang Supari.
Namun, apa yang hendak kupaparkan sebenarnya dalam pengantar tulisan saya ini, adalah: dari 21 perempuan peserta pelatihan hampir 70 % berhias emas, di leher, jari, pergelangan tangan. Tentu, aku tidak dapat memastikan seberapa kandungan emasnya. 22, 23, atau 24 karat, atau memang perhiasan itu hanya sepuhan saja. Yang pasti, perempuan-perempuan di sini hadir dalam kilau perhiasan, dan itu baru ketemui dalam pelatihan angkatan kali ini.
Pertanyaan demi pertanyaan dalam hatiku, bak air sungai mengalir di musim penghujan. Apakah ini pertanda bahwa mereka bukan termasuk kaum ‘poor’, masyarakat miskin? Atau mereka memang menjadi miskin karena musibah gempa, dan itu harta mereka yang tersisa? Atau memang perempuan suka dan seharusnya berdandan?
Kuamati
memang, Endang Supari juga hadir dengan perhiasan: kalung dan cincin di
jarinya. Namun cukup simetris. Lain halnya dengan ibu toge, perempuan yang
telah berumur kepala 5, dugaan saya, hadir dengan kalung besar yang menggantung
dilehernya. Bahkan memanjang sampai ke dada. Gelang di tanganya mungkin lebih
dari lima, besar-besar. Lain pula dengan dengan Ibu Djarwati, ia tampil hanya
dengan gelang emas di tangan yang sering kali tertutup lengan panjang baju yang
dikenakannya. Dan banyak lagi, seperti bu sujilah, ibu prapti dll.
Namun
apa jawab mereka ketika saya mengajukan sejumlah pertanyaan pembuka agar suasan
pembelajaran cair dan akrab: “Apakah pendapatan kita mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan kita per-bulanya? Adakah uang yang bisa disisakan untuk menabung?”.
Jawab mereka hampir serempak, “kurang, boro-boro bisa nabung”.
Pertanyaan
kuajukan pada mereka selanjutnya, “apa saja yang anda beli, atau untuk apa saja
uang yang anda dapatkan untuk per-bulanya?”. Sejenak, mereka bagai murid tengah
menghadapi gurunya yang sedang marah, terdiam dan saling memandang satu dengan
yang lainya. Saya mencoba mengajukan satu pertanyaan sembrono kepada semua
peserta agar bisa memancing stagnasi kondisi ini, “Coba sebutkan seingatnya
saja, satu juga boleh, mosok sudah hidup selama 25 tahun lebih kok tidak ingat
apa yang pernah dibelajankan? Apakah memang tidak pernah belanja, atau kita
selama ini tidak hidup?”
Pancingan
itu ternyata membuat peserta merespon dan memberikan jawaban yang cukup
beragam. Namun satu catata saya, jawaban mereka hanya pada lingkup kebutuhan
pokok hidup sehari-hari? Makan, pakain, membuat rumah, dan itu-itu saja? Apakah
mereka salah? Tentu tidak, karena jawaban mereka hanyalah spontan dan belum
tahu persis apa yang saya maksudkan sesungguhnya.
Aku
lirik Endang Supari yang duduk di sebelah kiri di mana aku tengah berdiri. Aku
memang suka berdiri dalam pelatihan untuk memudahkan gerakku agar bisa
berkomunikasi dengan semua peserta yang duduk melingkariku, berjalan-jalan
kecil agar lebih akrab sesi pembelajaran ini. Kutatap juga anaknya yang tengah
ditidurkan di sampingnya; dengan batal bersarung kain warna merah bunga,
pinjaman dari pemilik rumah dimana pelatihan ini dilakukan. Sekilas, aku jadi
ingat anak laki-lakiku: Subokestowo Paksi, begitu namanya.
Kuajukan
pertanyaan pada Endang, “berapa umur anaknya?”. “4 bulan”, begitu jawabnya,
dengan menatapkan mata ke arahku. “memang serupa nana” bisikku dalam hati.
Tentu, pikiran itu tak kuteruskan. Kuajukan pertanyaan lagi, ‘sudah pernah di
imunisasi?’ “sudah” jawab endang. Satu, kuajukan lagi pertanyaan baik kepada
endang pribadi maupun kepada semua peserta. “Jika sekarang umur 6 bulan, kapan
lagi putra mbak endang akan diimunisasi lagi?”
Ternyata
kaum ibu di dusun melikan ini memang termasuk memperhatikan kesehatan
anak-anaknya. Sejurus mereka menerangkan kepadaku, kapanya, jenis imunisasinya
dan sebagainya. Selih berganti sahut-menyahut, kadang sulit mengerti maksudnya.
Dan ketika kulihat endang, ia tak sempat memberi jawaban. Lantas kuarahkan
pandanganku pada rambutnya yang pendek, menurutku. “Aku yakin tak pernah
dipanjangkan” dugaku. Postur tubuh serupa endang, memang simetris jika hanya
pendek potongannya. Menjaga perimbangan tumbuh yang relatif besar. Begitu juga
ketika wulan dulu masih menjadi kekasihku. Rambunya pendek, agak kecoklatan
membuat warna kulitnya yang kuning semakin menyala.
“Kalau
ibu-ibu bisa memberikan banyak jawaban, mana yang kira-kira bakal mengeluarkan
uang”, tanyaku. “Ya semua”, jawab mereka. “Inilah pintu masuk aku akan
menjelaskan sub materi tentang penelusuran pengeluaran dan pendapatan”, bisikku
dalam hati. Dan ajaku selanjutnya, “karena ternyata ibu-ibu sudah mulai ingat
beragam pengeluaran rumah tangga, mari sekarang kita bersama-sama menelusuri
pengeluaran yang pada umumnya dibelanjakan orang untuk tiap-tiap bulanya”.
Sebetulanya
masih banyak catatan yang bakal kutuliskan di sini. Misalnya: tentang bagaimana
mengidentifikasi kebutuhan masa depan; FEP sebagai metode edukasi
(merencanakan); Strategi yang layak dilakukan, menabung atau kita pilih hutang
dll.
Namun
karena aku tak banyak waktu untuk mengingatnya, ya terpaksa segini saja. Memang
mestinya, yang ingin kuangkapkan adalah hasil-hasil pelatihan tersebut. Namun
... sekali lagi, aku udah males. Dan tampaknya juga di blog ini lebih relevan
ngobrolin perempuan. Karena soal perempuan adalah bagian dari rahasia
lelaki.
he...he...
juga termasuk bagaimana cara mengelola uang. Harus diakui juga, itu termasuk
rahasia lelaki lho!! E.. foto di atas itu adalah endang sapari namanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar